TENTANG RENCONG
Kata RENDRA
Kumpulan puisi ini mencerminkan kehalusan budi. Penindasan dan ketidak-adilan yang terjadi di Aceh digambarkan dengan protes yang lahir dari kemurnian kalbu yang tanpa pamrih politik. Absurditas kekerasan ditonjolkan sebagai kebodohan manusia yang pongah dan fana.
Seruannya untuk mempertahankan nilai-nilai peradaban dan kemanusiaan sangat menyentuh hati. Terutama karena kefasihan Fikar dalam memadatkan pengucapan dan disiplin selektifnya dalam penggambaran detil.
Ketangkasannya dalam menciptakan rhima memang sangat khas menunjukkan tradisi lisan Takengon yang mengalir dengan deras dalam darahnya.
Inilah kumpulan puisi seorang penyair romantis yang dilanda kepedihan dan keprihatinan, menyaksikan kampung halamannya berantakan, sebagai akibat praktek politik kekuasaan yang tanpa etika.
Depok, 4 September 2003
Rendra, budayawan, dramawan dan penyair terpenting Indonesia. Dijuluki “Si Burung Merak,” Lahir di Solo, 7 November 1935. “Balada Cut Nyak Dhien” dan “Universitas Syiah Kuala, Guru Kami,” adalah dua sajak yang ditulisnya khusus untuk Aceh. Sajak “Universitas Syiah Kuala, Guru Kami” kemudian diaransir menjadi hymne Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh oleh komponis Muchtar Embut. Puisinya yang lain dipahatkan pada salah satu dinding gedung DPRD Nanggroe Aceh Darussalam.
CATATAN RENCONG:
Masa Lalu dan Peristiwa
Kontemporer Aceh
Oleh Prof. Madya Dr. Siti Zainon Ismail
ACEH yang disebut sejak masa lalu sebagai ‘Serambi Mekah’ telah sekian lama mewarnai budaya ilmu dan sejarah sastera yang panjang. Sebut saja Hamzah Fansuri , Sheik Nuruddin ar-Raniri tidak siapa dapat memadam namanya begitu itu. Amat disayangi sekali jika penulis modern hari ini tidak mengenal karya mereka. Begitu juga wilayah Aceh yang luas terutama sejak abad ke 17, bila Iskandar Muda dapat mengawasi kuasa Portugis di sepanjang Selat Melaka hingga jajahan takluknya meluasi jauh ke Semenanjung Tanah Melayu. Malah sebelum muncul Aceh Darussalam sudah disebut kewujudan Perlak dan Pasai sebagai wilayah pertama disinggahi bahtera Islam. Teks Sejarah Melayu memerikan peristiwa Merah Silu merebus cacing gelang-gelang hingga menjadi emas dan buihnya berganti perak. Kekayaannya itu telah dicemburi adiknya Merah Caga lalu mengungsi ke Rimba Jerun (dalam Hikayat Pasai disebut Rima Jerana).
Tempat asal dua bersaudara ini dikatakan berada di negeri Biruan (Bireun sekarang) (lih. Russel Jones,edt.1999:9). Manakala tempat penemuan cacing gelang-gelang itu di sebut sebagai Padang Gelang-gelang (Shellabear,edt,1977:40). Begitu juga proses pengislaman di wilayah asal kerajaan Aceh itu telah disebut beberapa nama seperti Lamuri, Fansuri dan Haru yang telah ditadangi nakhoda Shikh Ismail sehingga Islam bertapak dengan jayanya. Namun takdir juga sejak dulu negeri kaya emas dan sumber alam lain ini terus dicemburui oleh siapa saja yang ‘melintas’ wilayah ini.
KIRANYA fakta sejarah ini dapat kita hubungkan dengan ‘ kejayaan dan keagungan Aceh’ masa lalu yang harus dijadikan iktibar, kenapa sejarah dan budaya yang semakin sepi itu dilestarikan kembali. Di sinilah titik tolak bagi meninjau makna dan ghairah puisi Fikar W. Eda dalam Kumpulan Puisi Recong ini.
Sejarah budaya : masa lalu dan peristiwa kontemporer Aceh
Sejak masih berdaun muda, seorang pemuda remaja merenung keindahan Laut Gayo nun jauh di gunung pedalaman Aceh. Dia ber”Angan”, ‘ bulan jatuh di pusaran Laut Tawar ‘ namun yang ‘ ku kejar tak dapat ‘ . Ini di catat kala dia masih menyelusuri bumi Takengon. Pemuda berusia 21 tahun di manapun memang penuh angan dan cita-cita. Tetapi inilah “Rinduku” yang penuh bagai ‘ jerit ilalang’/ ‘ jerit bocah tengah malam’. Ada keruh puisi mula muncul di benak rindu itu. Mungkinkah detik pertemuan awal di Jabal Gafur dalam peristiwa pertemuan penyair Nusantara 1986 telah mengembangkan rindu anak muda ini, seolah ingin menerus dan menyampaikan rindu sebagai ‘rintihan dunia’
Demikian anak jati Aceh tidak akan bisa terus bermain impi dengan angan-angan . Gejolak sejarah bumi kelahiran yang robek, dilanda musibah oleh perjuangan bangsa yang panjang sejak melawan Portugis dan Belanda berentetan dengan isu negara yang tidak selesai, telah membangunkan sejumlah tenaga protes, marah dan sendu. Inilah gerak minda dan gelora jiwa sehingga puisi melimpah. Fikar W.Eda yang menamatkan kuliah di Fakultas Pertanian di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh tidak terkecuali dengan limpahan puisi. Sepanjang peristiwa DOM yang mengikat mulut dan pasca DOM, semua mula ‘ bebas’ dan berani melontar ide dalam nada yang berbagai. Dan puisi adalah salah satu lontaran ide oleh respons suasana yang bergejolak itu. Sebagai contoh, walaupun perang melawan Belanda sudah lama berakhir, namun kesan kemarahan itu masih berbekas. Ungkapan Fikar lagi, Belanda atau Jakarta tidak ada bedanya, karena kini mereka ‘ melontarkan kemarahan hingga menyamakannya “Seperti Belanda ”…’ mereka pun menghunus sangkur/ dengan senapan siap tempur/rumah-rumah digempur/masjid, meunasah/dibuat hancur ‘
Siapa dan di manakah Jakarta itu? Jelas penyair sendiri, ‘ …melebih Belanda / mereka perkosa istri-istri kami/mereka tebas leher putra putri kami/ mereka bunuh harapan dan cita-cita kami’. Puisi dicipta pada tahun 1999 , selepas pasca DOM. Nadanya langsung tanpa bersembunyi lagi. Apakah ini puncak kekecewaan yang lama penuh harap menanggung angan keamanan sejak usia masih balita sudah didongengkan dengan cerita Perang Sabil? Bagaimanakah menahan derita ,duka sehingga membuahkan dendam kemarahan kalau di hadapan mata semuanya adalah api? Maka tidak heran lagi, di mata dan sukma penyair ini, yang muncul ialah,
“ …jari-jari penari seudati memercikkan api
dada penari menyalakan api
langkah penari menjadi api
syair nyanyi adalah api
api menjalar ke mana-mana
halaman rumah
taman kota…’
sehingga seterusnya inilah rakaman peristiwa sejarah semasa itu, bila masjid, pasar, kebun sawit, kopi, cengkeh, ombak, laut menjadi api, pesantren sekolah , kampus, hotel menjadi api.
Pada hal harapan tetap menjadi tanda tanya, siapakah yang akan “menyalakan lampu Aceh/dengan warna kuning keemasan.” Inilah simbol harapan. Penyair tahu dan siapapun yang mempelajari sejarah Aceh, tahu zaman keagungan Aceh masa lalu telah dan bagai diarak mendung. Awan kelabu murung. Umum mengetahui lewat kitab-kitab sejarah, di mana letak ‘ lampu dengan warna kuning keemasan’ itu menyala! Di mana pula loceng cakradonya digantungkan dan krueung yang mengalir di bawah ‘dalam’ istana yang tembus ke darul isyki sebagai simbol masa lalu. Tetapi di mana itu semua?
Lebih menyentuh hati kita ialah tentang derita panjang yang lama itu telah membuah dendam. Sebelum peristiwa DOM lagi, penyair telah melalui detik duka lara dan kemarahan itu memuncak dengan citra konkrit dalam puisinya “ Rajah”, dengan rasa penuh gerak yang dimanterakan berbunyi, ‘ eeeeeeeeeeeeeeeee’ (17 huruf e, silakan membunyikannya = eeeee ) diikuti dengan gamam ‘ mmmmmmmmmmmmmmmmmm’ (18 huruf = emmmemm…) itulah manik-manik (diri) yang dibakar menjadi bara nadi
kerana yang dicari , yang didatangi adalah rohmu, kualiri darahmu ,kuairi matamu, ku langkahi kaki mu …dan sejak lama penyair sudah meratapi dan me-‘luruhkan hatinya’ pada puisi. Bukankah inilah trauma sosio-budaya?
Trauma sosio-budaya
Trauma wujud dan berkembang tergantung kepada kekuatan dan kelemahan individu menganggapi suasana dan lingkungan tidak tenteram. Kesan perang dengan keadaan kehilangan, kekerasan terjadi dialami dan dilakukan oleh kelompok masyarakat yang terlibat dalam konflik hingga membuahkan kesan negatif. Trauma has become a very popular in psychology, psychiatry and the social sciences, and its popularity is still growing rapidly’ (Rolf J.Kreber, edt.1995:11).1 Herman Oppenheim pula telah mengenalkan konsep traumatic neuriosis dan ini dilanjutkan oleh Pierre Janet, Josef Breuer and Sigmund Frued yang menguji kesan traumatic nature seperti gangguan hysteria (ibid). Dalam negara yang dihadapi dengan krisis dan konflik, titik awal pernderitaan bukan saja di sudut fisikal, kehancuran infra-sturuktur tetapi juga makna sengsara dari sudut mental dan spiritual. Pihak yang berkuasa berusaha menakluki ‘musuh’ sebagai pemuncul angkara. Rakyat pula memberontak, memprotes karena ketidak-adilan pemerintah dan bertindak untuk mendapat hak keadilan. Di kalangan penguasa , pemberontak harus dihapuskan. Dalam hal ini seniman tidak juga berdiam diri dan Fikar W.Eda yang turut trauma tentu ingin mengubat derita sukma itu sehingga puisi turut menjadi alat penyembuh – art as theraphy. Malah lebih menyatu, penyair dan karyanya turut menjadi sumber semangat , inspirasi untuk mempertahankan tanah air. Di Nanggroe Aceh Darussalam hal ini telah dibuktikan dengan puisi ulung karya Shikh Pante Kulu melalui Hikayat Perang Sabil . Perhatikan ungkapan penting dalam teks awal ini,
Demikian hikayat merangsang perang
Membangkitkan semangat pendengar berita
Di mana jumpa Belanda dicencang
Hilang melayang cinta dunia2
Dalam hal semasa Aceh setelah DOM dicabut penyair lebih lantang bersuara. Antaranya Fikar sendiri, suaranya tetap lembut namun memberi arah,
“…saudara-saudara
mulai hari ini kita harus kerja keras
bahu membahu menyusun barisan
tak perlu risau
apabila nanti ada satu dua lusin piring yang pecah
ini biasa dalam perhelatan …’(dalam Nyala Aceh)
Penyair ini dengan bersahaja terus berseru, mengingatkan hingga dapat memberi semangat pembangunan jiwa. Dalam judul “ Mari”. Dalam suasana desing peluru, penyair memberi arah dalam simbolis puisi,
mari
ku lukis jemarimu di pasir ini
lantas tetesi darah kita
buat bekal anak-anak esok
mari satukan roh
di bawah purnama ini
pertanda kita
berangkat dari satu titik
mari
apit semangat
(di luar desing peluru)
Puisi ini dicatat bagai mengingati semangat perjuangan ‘melawan’ peristiwa gangguan kehidupan rakyat Aceh, sepanjang tahun 1986 hingga 2001. Nadanya begitu bersahaja namun semangat api tetap bernyala. Hampir seluruh koleksi puisi dalam Kumpulan Puisi Rencong ini merekam unsur dan citra panas seperti, ‘ api’ (memercikkan api, menyalakan api, bara api, memerah api, menjadi api,nyala api, Aceh menyala, membakar, memanggang, kobaran api), ‘darah’ (tetesi darah, penuh darah, penuh luka,). Kumpulan puisi juga mewakili karya-karya penuh semangat oleh ledakan ‘ perang’ . Kita temui ungkapan dengan citra dan metafora yang kerap mengaitkan dengan kematian, kehancuran, kesesiaan dan kesebalan. Sebagai wartawan yang tinggal di Jakarta, Fikar tidak dapat menutup mata begitu saja, dia adalah anak watan yang merindui tanah kelahiran, kebeningan embun di tajuk renggali di Gayo, doa ine (ibu) dengan cerita rakyat “ batu belah” hingga ucapnya ‘ betapa sukmaku tak pernah lekang/dari wajahmu’ (puisi “ Sebuku”). Penyair anak jati Gayo, ini tahu ‘asalku dari hulu/menitis dari kesucian akar kayu’. Tetapi selama suasana tidak tertenteram, yang dilihat dan didengarnya selepas itu ialah ‘ pembantaian’ umat satu bangsa bermaruah yang telah lama merdeka. Harta bumi kelahiran yang kaya dengan ‘ gas alam, khazanah bumi,’telah dirampas oleh ‘ penimbun harta/yang tak lagi menyisakan zakat/dari ladang-ladang milik Tuhan ‘ (puisi “ Asalku dari Hulu”). Namun ’ selama pemerentahan Order Baru, ‘ mulut dikatup/kemana suara/tangan digari/kemana raba/hati dikunci / kemana rasa/ pada hal/ telah lama merdeka (puisi “ Kemana”).
Bagaimana dapat menolak koleksi puisi ini daripada suasan perang? Baik tema sebagai struktur asas karya susastera mahupun semangat dalaman kerana yang dihantar kepada kita penuh dengan suasana ‘perang’ itu sendiri. Petikan ayat dengan citra berikut secara langsung dapat dirujuk sebagai mewakili bahan sejarah,
‘…dari Jakarta
kalian hunjamkan mata rencong itu
tepat di jantung kami ‘ (puisi “ Rencong”,1998)
atau,
‘ menghunus sangkur’, ‘senapan siap tempur’ (puisi “ Seperti Belanda ” ); ‘lehermu ditembus peluru’ (puisi “ Bunga dan Peluru”) , ‘serombongan serdadu’, memainkan senapan’, ‘ membidik / dan dor ‘ (puisi “ Tubuh Rebah”), ‘ peluru-peluru bodoh yang ditembakkan ‘( puisi “ Aku Tak Bisa Berfikir” ), ‘engkau hunus mata pedang’ (puisi “ Lalu Kita”) , ‘desing peluru’ (puisi “ Cahaya Suci Matahari “), ‘deru peluru’ (puisi “Kabut Tipis Kaca Jendela”);
Maka akibat dari trauma perang itu ialah dengan wujudnya ‘ para yatim dan piatu’ , ‘ penuh luka/penuh darah ‘ , ‘ jadi angkuh’ , sejarah remuk’ ( puisi “ Jerit Bukit”), ‘wajah-wajah gelisah’ (puisi “ Dari Balik Kaca Sebuah Menara”); ‘ candapun hilang makna’ (puisi “ Kabut Tipis kaca Jendela”) . Lebih bingung pula ada yang tidak mengerti, kenapa bisa terjadi, ‘ seorang perempuan/ asyik menulis kezaliman/ yang tidak pernah ia pahami’ (puisi “ Akulah Syair Itu”). Keseluruhan kesan negatif ke atas anak bangsa yang dihina oleh suasana perang itu, dilihat penyair sebagai, melemah jiwa,’ kemana rasa, kemana raba, kemana daya’ walaupun negeri ‘telah merdeka’ (puisi “ Kemana”) . lebih tragis lagi, dia melihat kehancuran, hilang kemanusiaan, bila ‘ teratai kuncup/ ,membalut tubuh tak bernyawa ‘( puisi” Tubuh Rebah”). Bagaimana pula peranan tentera yang diamanahkan untuk menjaga rakyat, bila mereka ‘ memainkan senapan/sambil tertawa-tawa/ lalu membidik / dan dor’. Yang dibunuh pula itu adalah orang awam.
Doa dan harapan
Suara penyair ini tetap lembut, walaupun menyampaikan hal yang sinis. Sekali lagi sebagai putra Aceh, nilai Islamis itu memang sarat dalam puisi beliau. Bagi manusia Islam, doa mempunyai kesan penting. Di sini melalui harapan dan doa, penyair penuh harap dengan mengungkapkan,
‘ … biarkan kami tegak di sini
memaku tanah merah, tanah moyang kami
lalu menggalinya agar tetap selamat
biarkan kami di sini
berdoa bagi kelangsungan hidup kami
mengharap ampunan dan taubat
biarkan kami di sini
bersama anak dan istri
…
biarkan kami di sini
menunggu kezaliman berlalu…’
(puisi “ Biarkan Kami”)
Penyerahankah ini? Atau keinsafan oleh olah dan perlakuan masa lalu, sehingga penyair mengharap ampunan dan taubat! Namun tegasnya, penyair sendiri memberi jawaban dengan menjelaskan,
kami bukan batu keramat
kami bukan lumut laknat
kami bukan bau busuk khianat
kami bukan ranting rapuh
yang lakat pada beringin angkuh
kami bukan apa-apa
karena itu biarkan kami
menghirup aroma tanah
tanpa syak wasangka
menjadi tangkai sekaligus bunga
memintal kasih sayang dan cinta
Inilah tanda kelembutan jiwa sang penyair yang menggenggam amanat kasih sayang. Hanya kasih dan cinta dapat membina persahabatan dan keakraban budi. Hilang kasih itulah yang mudah memunculkan angkara musibah. Di sinilah penyair terjebak dilema musibah, karena akhirnya‘ giliranku yang pilu/ ketika bunga dan lehermu ditembus peluru’ (puisi “Bunga dan Peluru” ) . Lebih mengharukan lagi, bila ungkapnya, ‘ kukirim padamu sekuntum/ tapi engkau entah di mana’ (puisi “ Bunga”). Romantisisme yang menjalar ke jiwanya cepat menjadikan beliau tersentuh, menyatu tetapi masih dapat menahan kemarahan sebaliknya, coba menyampaikan ingatakan kepada kita seperti ceritanya,
“ …Yusuf, bocah 12 tahun
menyaksikan nyala api itu
dalam wajah kering
di pelupuk mata kecilnya berkelebat
tangan-tangan penuh api
memenggal bapaknya di tengah sawah
dan api itu pula
yang membakar harapan Siti Aminah
di pedalaman Pidie ‘ (puisi “ Nyala Aceh”)
Membaca bait puisi ini kita dibawa ke alur peristiwa realiti-realisme yang diangkat dari data sejarah yang tidak dapat disembunyikan. Penyair Fikar W.Eda dapat kita golongkan sebagai pencatat sejarah dengan ungkapan lirik yang bersahaja tetapi tetap membawa gelora jiwa sehingga kita dengan senang penuh terharu menikmati buah fikir putera Aceh sejati. Semoga saja selepas perjanjian demi perjanjian yang telah disepakati akan membuahkan pula puisi yang lebih manusiawi tentang masa lalu dan masa depan umat bangsa kita tercinta.
(Januari- 17 Februari 2003)
______________________
1 lih.Rolf J.Kreber,edt.1995.
2 A.Hasjmy mengutip kata pengantar salinan Hikayat Perang Sabil oleh Anzib.lih.A.Hasimy,1977:58
Bibliografi
A.Hasjmy,1977(a). Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Belanda . Jakarta: Bulan Bintang
Jones,Russell (peny) 1999.Hikayat Raja Pasai.K.Lumpur: Yayasan Karyawan
Kleber,R.J.,Figley,C.R dan Gersons,Bherthopld (peny),1995. Beyond Trauma Cultural And Societal Dynamics. New York:Plenum Press
Abdul Wachid BS, Fikar W Eda dan Lian Sahar (peny),1999. Aceh Mendesah dalam Nafasku. Banda Aceh : KaSUHA
Siti Zainon Ismail,2002. “Nyala Aceh, Kajian Kesan Psikologi dan Nilai Budaya, Pusisi-puisi Aceh, dalam suasana DOM dan pasca DOM”. Kertaskerja Persidangan Antarbangsa, Pengajian Melayu Indonesia, National
Prof. Madya Dr. Siti Zainon Ismail, salah seoranag sastrawan dan pelukis terpenting di Malaysia. Lahir di Gombak, Kuala Lumpur, 18 Desember 1949. Mendapat didikan seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Jogjakarta (Sarjana Muda Seni Rupa, 1974) dan Universiti Kebangsaan Malaysia (Sarjana Sastera, 1979). Menulis banyak buku dan menggelar pameran lukis di banyak tempat, termasuk Indonesia.Menerima anugerah SEA Write Award di
Bangkok (1989) dan gelar Cut Nyak Fakinah dari Aceh, 1990. “Aceh adalah kampung halaman kedua saya,” kata Siti Zainon tentang Tanah Aceh yang telah dikunjunginya sampai ke pelosok. Saat ini mengajar di Universiti Kebangsaan Malaysia. Bersama intelektual Aceh Prof Dr Darwis A Soelaiman dkk, Siti Zainon membentuk lembaga Pusat Lajian Melayu-Aceh (Pusma).
puisi
Rencong
kumpulan puisi Fikar W.Eda
SALAM DAMAI
salam pada langit yang kita junjung
menampung segala suara
puja puji, caci maki dan doa-doa
salam pada bumi yang kita jejak
permadani perak tanah manusia
sambutlah salam kami
salam sepuluh jari di atas kepala
mari rebahkan tubuh di halaman bunga
rentangkan sayap pada cahaya
hati bersih tanpa cela
tempat muasal khianat dan dendam bara
geraikan rambut di hulu sungai
sebarkan wahai wangi harumnya
kembalikan rencong pada sarung
anak panah pada busur
keris pada keramatnya
sebab telah begitu lama kita dalam duka cita
oleh amuk serakah kaum pendurhaka
takluk dihadapan pembidik
dalam kokang senjata tak berjiwa
telah begitu lama kita tergusur
terkubur di bukit-bukit tua
kematian saling berhimpit
jerit yatim memenuhi cakrawala
pintu-pintu berlumpur tanpa suara
maka sudah waktunya semua kembali
sambutlah salam kami
salam damai dengan Bismillah
damai langit menjadi payung
damai bumi menjadi jejak
permadani perak nusantara
Jakarta, 12 Mei 2000
RENCONG
siapa saja yang datang
kami sambut dengan tarian
dan syair perjamuan
pertanda kemuliaan
siapa saja yang datang
kami kalungi bunga
salam sepuluh jari
menjadi sebelas dengan kepala
siapa saja yang datang
kami hadiahi gelar
sebagai saudara
dan penghormatan
berbilah-bilah rencong
dengan sarung dan tangkai berkilap
tak lupa kami selipkan
pertanda martabat
dan keagungan
betapa pedih hati kami
dari Jakarta
kalian hujamkan mata rencong itu
tepat di jantung kami!
Jakarta, 1998
SEPERTI BELANDA
seperti Belanda
mereka atur siasat
membuat kami takluk
bertekuk lutut
seperti Belanda
mereka rebut hati kami
dengan cahaya janji
sambil mengutip kitab suci
seperti Belanda
mereka suguhi kami anggur
hingga kami mendengkur
lalu dengan leluasa
mengeruk perut kami
gas alam, minyak, emas, hutan,
sampai akar rumput bumi
seperti Belanda
mereka pun menghunus sangkur
dengan senapan siap tempur
rumah-rumah digempur
masjid, meunasah
dibuat hancur
melebihi Belanda
mereka perkosa istri-istri kami
mereka tebas leher putra putri kami
mereka bunuh harapan dan cita-cita kami
melebihi Belanda
itulah Jakarta!
Jakarta, 1999
NYALA ACEH
di sebuah negeri paling barat
matahari lindap di balik kabut
angin bertiup ragu
kering dan karatan
dari sebuah ruang peninggalan Belanda
para penguasa mengangkat sumpah
di hadapan rakyat salah seorang angkat bicara
“saudara-saudara. negeri kita terbelakang.
karena itu tolong beri kepercayaan pada saya.
tolong bantu saya untuk menyalakan lampu Aceh
dengan warna kuning keemasan.”
ruang itu kemudian riuh
denting sendok menyentuh piring
orang-orang serentak menaruh harapan
api di tungku mulai menyala
para penari seudati bergerak cepat
membentuk kelebat bayang-bayang
api di tungku kian besar
“saudara-saudara
mulai hari ini kita harus kerja keras
bahu membahu menyusun barisan
tak perlu risau
apabila nanti ada satu dua lusin piring yang pecah
itu biasa dalam perhelatan.”
api di tungku kian tinggi
menjilati dinding ruangan peninggalan Belanda
meja kursi ikut mengeluarkan api
jari-jari penari seudati memercikkan api
dada penari menyalakan api
langkah kaki penari menjadi api
syair nyanyi adalah api
api menjalar kemana-mana
halaman rumah
taman kota
masjid
pasar
kantor-kantor
kebun sawit
kopi
cengkeh
ombak
laut
menjadi api
pesantren
sekolah
kampus
hotel
menjadi api
Aceh terang benderang
Aceh menyala
Aceh menyala!
dari seberang kali yang dangkal
Yusuf, bocah 12 tahun
menyaksikan nyala api itu
dalam wajah kering
di pelupuk mata kecilnya berkelebat
tangan-tangan penuh api
memenggal bapaknya di tengah sawah
dan api itu pula
yang membakar harapan Siti Aminah
di pedalaman Pidie
dari ruang peninggalan Belanda
sumpah terlanjur diucapkan
Aceh memang menyala
tapi bukan oleh cinta
dan kasih sayang
Jakarta, 1998
BIARKAN KAMI
(untuk Aceh dan suku lainnya di negeri ini)
biarkan kami tegak di sini
menahan gigil angin
yang meniupkan aroma maksiat
biarkan kami tegak di sini
menahan dingin hujan
sambil menghitung hari-hari lewat
biarkan kami tegak di sini
memaku tanah merah, tanah moyang kami
lalu menggalinya agar tetap selamat
biarkan kami tegak di sini
berdoa bagi kelangsungan hidup kami
mengharap ampunan dan taubat
biarkan kami di sini
bersama anak dan istri
memandangi rembulan pucat
biarkan kami di sini
menunggu kezaliman berlalu
jangan paksa kami minum anggur
yang memabukkan ruh dan raga kami
jangan paksa kami membangun tenda
di tepi-tepi jurang menganga
yang siap menelan kami lumat
kami bukan batu keramat
kami bukan lumut laknat
kami bukan bau busuk khianat
kami bukan ranting rapuh
yang lekat pada beringin angkuh
kami bukan apa-apa
karena itu biarkan kami
menghirup aroma tanah
tanpa syak wasangka
menjadi tangkai sekaligus bunga
memintal kasih sayang dan cinta
Jakarta, April 1998
RUMAH
burung memintal rumput
menjadi sarang
sebagai rumah
aku menyusun batu
menjadi rumah
sebagai surga
orang-orang berbedil itu
datang menyulut api
menjadikannya arang dan abu
Jakarta 2003
BUNGA DAN PELURU
engkau bertepuk tangan
ketika aku selesai merangkai bunga
engkau tersipu
ketika bunga itu kukalungkan di lehermu
giliranku yang pilu
ketika bunga dan lehermu ditembus peluru
Banda Aceh, 1995-1998
TUBUH REBAH
tubuh rebah ke bumi
deru angin mematahkan dahan
bau busuk menguap dari kelopak daun
darah membuat kolam
di atasnya teratai kuncup
membalut tubuh tak lagi bernyawa
hari ini ada seribu laki-laki
pergi tanpa meninggalkan alamat
mereka lenyap bagai embun
ditimpa cahaya pagi
di seberang kolam
serombongan serdadu
memainkan senapan
sambil tertawa-tawa
lalu membidik
dan dor!
tubuh rebah lagi ke bumi
Jakarta, 1998
KEMANA
mulut dikatup
kemana suara
tangan digari
kemana raba
kelamin digasi
kemana daya
hati dikunci
kemana rasa
padahal kita
telah lama merdeka
Banda Aceh, Agustus 1994
CAHAYA SUCI MATAHARI
(kepada para yatim dan piatu)
cahaya suci matahari
para malaikat turun
memenuhi syaf jamaah
menggemakan takbir
Allahu Akbar
Allahu Akbar
dalam barisan panjang syaf itu
air mata langit mengalir di dagu
mengenangkan ibu bapak di Lhokseumawe
yang hilang dalam desing peluru
surgalah bagimu
cahaya suci matahari
menggumam doa-doa
para yatim dan piatu
takbirku hampir tak kedengaran
Allahu Akbar
Allahu Akbar
1989-2001
JERIT BUKIT
tidakkah kau baca
isyarat angin
mengucap salam
melambai rindu
mengantar senyum
anak negeri yang pasrah
tidakkah kau dengar
menggelinding jerit
dari pucuk bukit
berbeban asa
penuh luka
penuh darah
atau sudah demikian jauhkah
jarak keterpencilan kita
dimana senyum berubah makna
jadi angkuh
dan matahari tidak lagi
menawarkan banyak hal
hingga sejarah remuk
dalam genggaman serdadu!
Sigli 1989-2000
DARI BALIK KACA SEBUAH MENARA
dari balik kaca
sebuah menara
merangkum kota
sampai kaki langit
dari balik kaca
sebuah menara
wajah-wajah gelisah
tanpa warna
mendengarkan pidato kemerdekaan
sambil menyanyikan mars perjuangan
sementara tangan dan hati
terpasung rantai panjang
di halaman pendopo
dari balik kaca
sebuah menara
bangkai-bangkai tanpa kepala
berserak di sudut kota
senja warna jingga
kian tua
adalah saksi yang belum selesai
Banda Aceh, Februari 1985
AKULAH SYAIR ITU
(kepada perempuan yang dizalimi)
aku lelaki kalah
lelah mengartikan makna
perjalanan musafir
menembus tandus sang gurun
peta lusuh mengapung
di permukaan danau
adalah isyarat yang mestinya
tidak kita tolak
angin mengusap ruhku
dari dua arah sekaligus
membungkus luka-luka matahari
(musafir harus melanjutkan perjalanan)
duhai langit
yang membiaskan warna kusam
akulah syair
yang mengalir dari hulu, rindu
menembus gurun
pori-pori tanah
menyelamlah dalam ku
warna-warna memang telah gugur
tangis tumpah
di jalan-jalan
di kesunyian pusara
seorang perempuan
asyik menuliskan kezaliman
yang tak ia pahami
Banda Aceh, 1992-2000
ACEH SATU (Lady’s Night)
tanpa kerudung
tanpa mukena
melenggang di jalan sunyi
singgah di masjid
membasuh muka
dosa tak kenal waktu, saudaraku
lampu-lampu menghangatkan tubuh
antara senggol siku
dan aroma keringat
jangan paling kan muka
wanita-wanita itupun ada di sini
dalam gemuruh do’a-do’a
Banda Aceh 1997
MARI
(di luar desing peluru)
mari
ku kulukis jemarimu di pasir ini
lantas kita tetesi darah kita
buat bekal anak-anak esok
mari
satukan roh
di bawah purnama ini
pertanda kita
berangkat dari satu titik
mari
apit semangat
(di luar desing peluru menanti)
Banda Aceh, 1986-2001
KABUT TIPIS KACA JENDELA
gerimis di luar
angin luka
melambai resah
kabut tipis lekat
di kaca jendela
aku di sana
mengusap wajah sendiri
kulihat bayangmu mengecil
candapun hilang makna
kuusap berkali
juga tak kutemukan apa-apa
sementara gerimis
resah angin
belum reda
wajahku masih di sana
di balik kabut tipis kaca jendela
(bayangmu kian mengabur
bersama kobaran api dan deru peluru)
Banda Aceh, Mei 1986-2001
RINDU EMAK
angin sepi
berayun gelisah
antara dua kutub
di padang batu
dan gerimis
lukai perut bumi
rindu emak di beranda
mengangkasa pada langit
menetes pada daun
mengendap dalam nadi
mengalir sepanjang Krueng Peusangan
di keningnya
senja warna jingga
Laut Tawar* tinggal riak
elang pulang sarang
jemarinya menggores sajak
tentang putrinya yang terbunuh pagi itu
“pahatkan sajak ini, nak
di kaki Buntul Kubu.”*
kemudian lelap
bersama gelisah angin
Takengon, Januari 1997
Catatan:
* Buntul Kubu, bukit di tengah kota Takengon
* Laut Tawar, danau di Takengon
KUTIKAM ACEH
kutikam belati
di perut Aceh
mengalir darah di sungai-sungai
sekelompok anak-anak telanjang
hiraukan luka
kutikam belati
di perut Aceh
mengalir darah di sungai-sungai
bulan gelisah
saksikan luka Aceh
kutikam belati
diperut Aceh
mengalir darah di sungai-sungai
kutikam lagi
mengalir lagi
kutikam
mengalir
darah
nanah
Aceh takkan punah!
Banda Aceh-Jakarta, 1986-2003
AKU TAK BISA BERFIKIR
akal sehatku terjungkir
aku fakir
fakir
fakir
ketika engkau memulai pidato di televisi
aku menyaksikan wajah negeri yang sesat
engkau menjelma raksasa menakutkan
penuh darah penuh nanah engkau menyebut
“kemerdekaan” dan “kemakmuran”
sambil menyeru nama Tuhan
engkau menghunus pedang
menerabas demi kedamaian demi ketertiban
koran-koran menulisnya di halaman depan
sebagai pahlawan kebangkitan
dan nasihatmu adalah nasihat wangi waktu
diterjemahkan sebagai penjelmaan petunjuk agung yang gaib
menggumpal-gumpal menjadi awan
yang setiap saat menyiramkan bara api
memanggang siapa saja membakar apa saja
dan doa, doa telah mejadi rongsokan
menggumam dari mulut-mulut dungu
masjid-masjid kesepian
masjid-masjid sendirian
dan jiwa, jiwa adalah selongsong
dari peluru-peluru bodoh yang ditembakkan
lalu dengan perasaan menyesal yang dibuat-buat
engkau mengalaskan; itu hanya kesalahan!
aku tak bisa berfikir
akal sehatku terjungkir
Banda Aceh, 1996
KITA BERDUA
kita berdua di tengah hujan
dalam langkah kecil
sepanjang trotoar
membagi senyum pada siapa saja
membagi sapa untuk siapa saja
kembang mekar di cakrawala
hujan belum reda
lingkar kecil tanah berlumpur
memercik dari ujung sepatu
“hati manusialah yang membuatnya kotor,”
katamu sambil membasuh sisa air di kening
kita berdua di dalam bus kota
orang-orang hilang canda
naik turun entah kemana
mengusung harap atau putus asa
anak sekolah menghunus clurit dalam wajah menyala
mengobrak abrik ruang bus kota
kita saksikan itu sambil tertawa-tawa
“begitulah perangai manusia. siswa sekolah lebih ditakuti
dari koruptor atau pemerkosa,”
katamu sambil menghapus debu dengan ujung baju
kita berdua di tangga plaza
mencium harum wangi bunga
menguap dari barang-barang buatan Amerika
meniupkan aroma hutan di lantai lima
udara pegunungan mengalir pula
ke ruang tempat kita mengunyah pizza
“kita tak kuasa menghindar dari kepungan selera laknat ini,” katamu sambil menatap lukisan kaum Asmat yang ternganga
kita berdua menuju masjid di tengah kota
tapi sulitnya sungguh tidak terkira
pintu-pintu suci terkunci semua
Jakarta 1996
LALU KITA
lalu kita saling bertarung
terkurung dalam satu arah
engkau hunuskan mata pedang
sedang aku cuma bisa pasrah
matamu jadi bola api
menjilati ranting gelagah
tanah kering angin memusing
jejak asing dalam sejarah
danau tenang berubah ganas
beringas menghanyutkan segala
di jalan raya kita termangu
menunggu seperti sedia kala
lalu kita saling melepas janji
jangan sesali jejak berlalu
angin tak mungkin lagi kembali
mengoyaki daun membunuh waktu
lalu kita….
1995
SYAIR CENDRAWASIH
(diilhami dari nyanyian rakyat Papua, Sana)
akulah burung gagak
yang dihinakan
terpelanting dari ranting-ranting
musim dingin yang beku
paruhku kelu
nyanyianku pilu
dengan sayap terluka
mengepak diantara pohon-pohon
yang ditumbangkan
cakrawala luas menjadi sempit
tubuhku terhimpit
kemana harus kembali?!
hutan terhampar bukan pula sangkar
jiwaku menggelepar
kemana harus kembali?!
tanah kaya menjadi kering
membuatku asing
kemana harus kembali?!
akulah burung gagak
yang dihinakan
terusir dari predaban
menengadah ke langit
menunggu keajaiban
wahai yang maha kuasa
sumber segala cahaya
bersama doa-doa yang dipanjatkan
tunjukkan keagungan
akulah burung gagak
yang dihinakan
atas kuasa Tuhan
menjelma Cendrawasih
dalam warna warni pelangi dan cahaya
wangi harumnya memenuhi angkasa raya
tapi lihatlah. Lihatlah,
ereka terus membidikku
dengan anak panah dan kokang senjata
Wahai yang maha kuasa
pemilik segala cahaya
arahkan kutuk Mu pada mereka!!!
Jakarta, Mei 2001
EPISODE RAJAH
BUNGA
kujalin kata jadi bunga
mekar di cakrawala
kukirim padamu sekuntum
tapi engkau entah dimana
Banda Aceh, Agustus 1995
RAJAH
eeeeeeeeeeeeeeeee
mmmmmmmmmmmmmmmmmm
manik manik ku
menikam sirnya
ku bakarbakar bara nadinya
ku tangkaptangkap detak jantungnya
ku bisikbisik sisu sukmanya
ku tataptatap pandang matanya
ku seruseru panggil namanya
ku langkahlangkah ringan kakinya
datangmu padaku
padamu kudatang
kudatang padamu
padaku datangmu
lalu biarkan
ku masuki roh mu
ku aliri darah mu
ku airi mata mu
ku langkahi kaki mu
ku tiupi nafas mu
ku garisi tangan mu
ku betoti sendi mu
ku kangkangi paha mu
eeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee
eeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee
mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
manik manik ku
menikam sirnya
luruhkan hatinya
pada puisi
ku
Banda Aceh, 1988
KE LANGIT TAK BERBATAS
ke langit tak berbatas
ke bumi tak berpentas
seperti burung lepas
aku terbang sendirian
terhempas di arus deras
mental ke bawah ke atas
persis lembar kertas
tercampak dari jilitan
tubuh kumal nasib kumal
penuh sulam penuh tambal
benang kasar cerai berai
terburai dari pintalan
awan hitam payungku
sampai kapan berlalu
menjadi hujan netes ke dagu
agaknya inilah suratan
rimba raya rumahku
langkah jerat akar kayu
memungut ratap daun layu
pohon-pohon bertumbangan
di tengah kota aku sesat
terhimpit mimpi angan kasat
tubuhku lumat
sampai tak kelihatan
mereka asyik atur siasat
di meja seminar nasib tercatat
diiring tawa sedikit debat
seperti ayam aku dientaskan
(ke langit tak berbatas
ke bumi tak berpentas)
Banda Aceh, Agustus 1994
NURLAPAN
(kelneng kelnang kelnong
kelneng kelnang kelnong
gong)
canang bertalu riuh
memanggil roh penawar sedingin
nurlapan
bersunting tajuk renggali
berules ulen-ulen*
tafakur di loyang datu**
mulutnya komat kamit
tatapnya menusuk
asap kemenyan menikam rasa
di angkasa, bulan terkurung kabut
(kelneng kelnang kelnong
kelneng kelnang kelnong
gong)
takketaktak taketaktaktis bong
takketaktak taketaktaktis bong
gaung canang terus bertalu riuh
memanggil roh penawar sedingin
tiba-tiba bulan berkeping
langit hitam
angin depik***menyucuk-nyucuk
burnitelong****muntahkan lahar
nurlapan
bersunting tajuk renggali
berules ulen-ulen
hujamkan keris
bumi gayo berdarah
laut tawar merah
matanya
kakinya
jemarinya
lidahnya
kaku
(kelneng kelnang kelnong
kelneng kelnang kelnong
gong)
nurlapan terkapar
kalah oleh rohnya sendiri
Takengon, Januari 1986
Catatan: *) nama kain adat Gayo**) nama gua di Gayo Aceh Tengah***) musim dingin di Gayo****) nama gunung berapi di Gayo
IZINKAN AKU
izinkan aku
menangkap getar laut di dadamu
dan menuliskannya
di sepi pegunungan
Sigli, 1989
ASALKU DARI HULU
asalku dari hulu
menitis dari kesucian akar kayu
ke hilir bersama arus sungai
membentur batu
pecah di tepi
angin menuliskan ceritanya
pada sehelai daun kering
tentang kegagalan anak kampung
merenggut mahkota kehidupan
asalku dari hulu
menitis dari kesucian akar kayu
menyeru-nyeru masa silam
dari jeratan masa depan
akan keangkuhan hati
membantah tatapan ayah
yang mengumanadangkan firman
dari masjid dekat rumah
asalku dari hulu
menitis dari kesucian akar kayu
menyeka mata itu yang perih
tapi masih saja mendoakan kebaikan
bagi sang anak
asalku dari hulu
menitis dari kesucian akar kayu
menangisi nasib pekat
para penimbun harta
yang tak lagi menyisakan zakat
dari ladang-ladang milik Tuhan
asalku dari hulu
menitis dari kesucian akar kayu
mengusap pundak istri tetangga
yang tak lagi menyimpan paha
dari tatapan jalang lelaki
asalku dari hulu
menitis dari kesucian akar kayu
ke hilir bersama arus sungai
membentur batu
pecah di tepi
duhai
dimanakah kita kini
tiba-tiba aku ingin
bergegas kembali
Banda Aceh, April 1992
MALAM RE 4 (MUDIK RAMADHAN)
angin pecah
di tangga masjid
menelanjangi diri satu, satu
bulan semu berjalan
birahi menggelepar
mati
Banda Aceh, 1986
KETIKA GERIMIS JATUH
PADA ATAPATAP KARDUS
lilin mengecil
stasion lengang
Banda Aceh 1988-1991
SEBUKU
ine, inengku ine
kutahu sudah makna
doa yang kau sulam
pada selimutku dan
cerita batu belah
yang kau nyanyikan
sebelum
tidur
ku
ine, kutahu sudah
arti kasih yang kau
payungi pada langitku
yang kau aliri pada sungaiku
yang kau taburi pada tamanku ine
kutahu sudah arti tajuk renggali
tingkah canang tiap kenduri
sorak beru bujang ahei wi
ine
kaulah pohon rindang tempatku berteduh
kayuh perahu tempatku berlabuh
kau dengan keagungan
ajarkan aku kearifan
betapa sukmaku tak pernah lekang
dari wajahmu
ine
terimalah sembah
sujudku
ine
September 1988
catatan:
Sebuku: seni meratap dari Gayo
Ine (bhs Gayo): ibu
Tajuk Renggali: nama bunga di Gayo
Beru bujang: muda mudi
ahei wi: efek bunyi
RINDU
mengental pada langit
mencair pada air
mengalir dalam darah
bangunkan malam ku
yang mati
………..
…….
…..
KAU
Takengon, 1987
RINDUKU
rinduku
rindu yang berjuntai
di baris-baris puisimu
rinduku
rindu jeritan ilalang
ditikam kemarau
rinduku
rindu eongan kucing pucat
sudut kota
rinduku
rindu jerit bocah tengah malam
hisap susu ringkih ibunya
rinduku
rindu cacing anak-anak Ethiopia
rinduku
rintihan dunia
Takengon, 1985
ANGAN
bulan jatuh
di pusaran Laut Tawar
ku kejar tak dapat-dapat
Takengon, 1987
AKULAH INONG (Wanita Aceh)
“Hello, call me please
I wait here”
(kemana kuhadapkan wajah
matahari berubah resah
ini zaman telah berganti
di puncak sunyi aku sandarkan mimpi)
Jakarta 1998
INI ZAMAN (Aceh)
masa beredar
zaman berganti
aku terpaku di balik cermin sunyi
di luar angin gemetar
ini zaman katanya kemajuan
mode pakaian warna warni
ada komprang, beggy you can see
di depan mertua pakai rok mini
mengunyah kacang sambil nonton tv
ini zaman katanya kemajuan
rambut perempuan dipangkas poni
persis ekor bebek memercik di kali
akan halnya rambut lelaki
menggerai panjang sekali
jalin menjalin pengganti tali
ini zaman katanya kemajuan
di Baiturrahman azan menyuara
tapi kita asyik menghitung laba
sambil membolak balik barang buatan Amerika
di toko Cina tingkat tiga
lain lagi selepas Isya
kota Banda berbinar nyala
lampu jalan aneka warna
di bawahnya waria menawarkan cinta
masa beredar zaman berganti
aku terpaku di balik cermin sunyi
di luar angin gemetar
ini zaman katanya kemajuan
pangkat dan jabatan di puja-puja
korupsi manipulasi meraja lela
pegawai golongan dua A mobilnya lima
simpanan istri muda di luar kota
ini zaman katanya kemajuan
edan dan sangat kelewatan
anak perawan lari ketakutan
dibetot bapak sendiri bernafsu setan
demikian berita koran
dari Lhokseumawe Raya
yang tak kalah gawat
anak gugat bapak di pengadilan
tentang warisan yang belum terbagi juga
ini zaman katanya kemajuan
hutan dibabat jadi rumah
manusia harimau gajah
bermukim satu lurah
kemudian saling memangsa
ya Allah
dimanakah kami kini
zaman memang telah berganti
pada MU kuserahkan diri
ya Allah
peliharalah cerminku
dari kabut dan debu
agar aku dapat berkaca selalu
Banda Aceh 1994
MUNGERJE (Perkawinan)
hentak canang membelah sepi
pelataran bumi Gayo
riak Laut Tawar bisikkan nyanyian pohon pinus
sekelompok tumpit 1)
menari di langit ceria
amengitari iringan panjang
perjalanan pesta pora
dari titian Bale 2)
menyeberang Krueng Peusangan
melintasi Buntul Kubu 3) yang megah
tiada lelah
aman mayak 4) menyebar wangian pagi
hari ini, ia persis malem dewa
menyunting si bungsu putri khayangan
sementara Inen Sebi 5) yang likak
tak henti berdendang
(tarentarenkope aman mayak gelah likak
edodo mayako gelah likak simulo oya) 6)
inen mayak 7) putri jelita
menanti iringan itu di Jongok Kebayakan 8)
(tarentarenkope aman mayak gelah likak
edodo mayako gelah likak simulo oya)
wahai
mereka basuh kaki dengan air tujuh bunga
di balik upuh ulenulen 9)
mereka hirup musim depik 10) yang ceria
di sudut hari
Inen Sebi pun menyapun debu jalanan
sementara mereka teruskan perjalanan itu
menangkap bulan
manjat matahari
selimuti malam
raih bintang
kamar pengantin jadi saksi
tajuk renggali 11) tercampak
di sisi kaki ranjang permadani
Takengon, 1986
Catatan:
1) burung pipit
2) nama kampung di tepi danau
3) sebuah bukit di kota Takengon
4) pengantin pria
5) wanita separoh baya biasa menari Gayo
6) nyanyian rakyat Gayo
7) pengantin wanita
8) nama sebuah kampung
9) kain adat Gayo
10) musim dingin
11) bunga khas Gayo
LEBARAN
malam yang basah
sepotong bulan di ubunubun
netes doa pada sajadah
di luar
anak-anak membakar api
Takengon, Ramadhan 1407 H
PERJALANAN
malam lewat tanpa mimpi
kemesraan anginpun luluh
pada embun yang hinggap
di ranting-ranting musim
bulan sepotong
menembus kaca jendela
betapa perjalanan ini
mengasingku pada peradaban lain
yang tak pernah kumengerti
Banda Aceh-Takengon Januari 1988
SAAT KUSAKSIKAN
saat kusaksikan
Maskirbi buntingi bulan dan matahari
lahir sejuta bayi
bertangan seribu
berkaki seribu
berkepala seribu
telanjangi dunia
saat kusaksikan
Rendra mengarak pelacur-pelacur kota Jakarta
dengan kibaran kutang-kutang di ujung galah
“protes naikkan tarif dua kali lipat
kalau tidak mogok satu bulan”
duniapun kelabakan
saat kusaksikan
Sutardji ciptakan mesin kawin
sambil menenggak bir
dan menggosok-gosokan kemaluannya
di atas mimbar
duniapun menyebutnya presiden
saat kusaskikan
para penyair mengusung puisinya
dunia kewalahan
Banda Aceh, Nopember 1986
KAMBUNA I
angin berlayar di samudera
dan menepi
ke dermaga Mu
September 1987
KAMBUNA II
setelah kita tak punya apa-apa
mari berkaca pada laut
sambil membaca isyarat angin
pada riuh dan buihnya
September 1987
KAMBUNA III
dimana harus kuterjemahkan sepi
sedang laut sudah demikian sepinya
bulan terkurung kabut
gelisah di geladak kapal
September 1987
INGIN KUTULIS RIWAYAT ITU
Katamu, “aku perempuan yang datang
dari sudut kegelapan sejarah
menguak tabir perjalanan kehidupan
menari-nari dalam kelam yang genit
dengan sebatang lilin”
ingin kutulis riwayat itu
pada langit
agar awan paham
pada laut
agar ombak paham
pada hutan
agar belantara paham
pada bumi
agar tanah paham
pada semi
pada gelisah
pada nadi
pada darah
pada hati
agar kita paham!
walau
embun masih basah
saat kau sapa aku selamat pagi
dan embun itu pula
yang ngalir pada puisiku
Banda Aceh, Juli 1988
TENTANG PENYAIR:
FIKAR W.EDA lahir di Aceh 1966. Mengikuti event sastra, antara lain FORUM PUISI INDONESIA ‘97 di TIM Jakarta, Refleksi Setengah Abad Indonesia di Solo (peringatan 50 Thn Indonesia Merdeka), dll. Karyanya terhimpun di sejumlah buku ku mpulan puisi; Antologi Puisi Indonesia ’87 (Dewan Kesenian Jakarta, 1987), Antologi Sastra Aceh Seulawah (Yayasan N usantara-Pemda Aceh 1996), Antologi Puisi Penyair Sumatera “Dari Bumi Lada” (Dewan Kesenian Lampung 1997), Antologi Puisi Indonesia ilid 1 (Komunitas Sastra Indonesia, 1997) dll.
Tampil dalam berbagai kegiatan baca puisi di sejumlah kota, Solo (1995), Jogjakarta, Surabaya, Lampung, Banda Aceh, Medan, Bandung, dan Jakarta serta Kuala Lumpur dalam PENGUCAPAN PUISI DUNIA. KUALA LUMPUR Ke-9 (Oktober 2002). Mengetuai kegiatan kampanye seni untuk HAM Aceh di berbagai kampus dan tempat hiburan di Jakarta yang melibatkan banyak penyair Indonesia. Bersama kelompok musikalisasi puisi Deavies Sanggar Matahari menggelar acara tur “Salam Damai” di berbagai kota di Jawa, Sumater dan Aceh (Juni – Oktober 2000).
Menjadi editor antologi puisi/cerpen/esai “ACEH MENDESAH DALAM NAFASKU” (Kasuha, 1999) bersama Lian Sahar, Abdul Wachid BS. Ikut pula mengisi album kaset “Puisi Untuk Aceh” (Kasuha 1999) dengan Rendra, Taufiq Ismail, H Danarto, Leon Agusta, Deavies Sanggar Matahari.
Menyusun buku “ACEH MENGGUGAT” bersama S Satya Dharma, diterbitkan Pusataka Sinar Harapan (1999).
Menamatkan kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Lalu memilih karir sebagai wartawan. Sejak 1989 bekerja untuk surat kabar harian SERAMBI INBDONESIA yang terbit di Banda Aceh. Aktif di organisasi Asosiasi Wartawan Muslim Indonesia (AWAM-Indonesia) dan PWI Reformasi. Saat ini tinggal di Jakarta.
NYALA ACEH
di sebuah negeri paling barat
matahari lindap di balik kabut
angin bertiup ragu
kering dan karatan
dari sebuah ruang peninggalan Belanda
para penguasa mengangkat sumpah
di hadapan rakyat salah seorang angkat bicara
“saudara-saudara. negeri kita terbelakang.
karena itu tolong beri kepercayaan pada saya.
tolong bantu saya untuk menyalakan lampu Aceh
dengan warna kuning keemasan.”
ruang itu kemudian riuh
denting sendok menyentuh piring
orang-orang serentak menaruh harapan
api di tungku mulai menyala
para penari seudati bergerak cepat
membentuk kelebat bayang-bayang
api di tungku kian besar
“saudara-saudara
mulai hari ini kita harus kerja keras
bahu membahu menyusun barisan
tak perlu risau
apabila nanti ada satu dua lusin piring yang pecah
itu biasa dalam perhelatan.”
api di tungku kian tinggi
menjilati dinding ruangan peninggalan Belanda
meja kursi ikut mengeluarkan api
jari-jari penari seudati memercikkan api
dada penari menyalakan api
langkah kaki penari menjadi api
syair nyanyi adalah api
api menjalar kemana-mana
halaman rumah
taman kota
masjid
pasar
kantor-kantor
kebun sawit
kopi
cengkeh
ombak
laut
menjadi api
pesantren
sekolah
kampus
hotel
menjadi api
Aceh terang benderang
Aceh menyala
Aceh menyala!
dari seberang kali yang dangkal
Yusuf, bocah 12 tahun
menyaksikan nyala api itu
dalam wajah kering
di pelupuk mata kecilnya berkelebat
tangan-tangan penuh api
memenggal bapaknya di tengah sawah
dan api itu pula
yang membakar harapan Siti Aminah
di pedalaman Pidie
dari ruang peninggalan Belanda
sumpah terlanjur diucapkan
Aceh memang menyala
tapi bukan oleh cinta
dan kasih sayang
Jakarta, 1998